Jauh sebelum dikenal sebagai palang pintu Betawi, tradisi ini disebut dengan “Sapu” atau “Nyapun” yang berarti berkomunikasi dengan sopan.
Nama lain dari “Betawi Ngarak” ini merupakan tradisi itu dilakukan bila pria Betawi menginginkannya melamar gadis betawi.
Syarat palang pintu mengacu pada dua kata yaitu “Palang” yang artinya Pembatas dan “Pintu” yang artinya tempat keluar masuknya.
Dalam Dynamics of the Palang Pintu Tradition in Betawi Community Wedding Culture in Mampang Prapatan District 1990-2020, palang pintu diibaratkan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh calon pengantin lelaki kapan pun dia mau melamar seorang wanita.
Dalam pelaksanaannya, tradisi ini memiliki empat elemen penting yaitu rebana ketimpring, pantun, adu silat dan sikeh yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan ayat dari Alquran.
Rebana ketimpring kerap kali dilambangkan sebagai simbol pesta. Sementara pantun sebagai komunikasi media bagi masyarakat Betawi saat itu untuk menjadi lebih sopan.
Seiring waktu, tradisi masyarakat Betawi mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan ini tidak lepas dari pengaruh modernisasi dan perkembangan zaman yang turut memengaruhi pola pikir serta kebiasaan hidup masyarakat Betawi saat ini. Kehidupan urban di Jakarta dan masuknya teknologi baru telah menggeser beberapa nilai tradisional. Meskipun begitu, esensi dari tradisi Betawi tetap dipertahankan sebagai bagian dari identitas budaya. Perubahan yang terjadi lebih merupakan adaptasi terhadap tuntutan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar yang diwariskan dari generasi ke generasi, menjaga kelestarian budaya Betawi di tengah modernitas.
Orang Betawi pada masa sekarang zaman memiliki sedikit kesadaran akan maknanya dari tradisi palang pintu. Jadi palang pintu mengalami beberapa perubahan serta teknis pelaksanaan.
Perubahan pada palang pintu prosesi tidak dapat dipisahkan dari perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Betawi orang-orang di Jakarta menghadapi modernisasi.
Perubahan Palang Pintu Betawi pada Periode 1990-2020
Periode 1990-2020 adalah masa penting bagi Kota Jakarta yang mencerminkan perkembangan pesat di berbagai aspek. Selama tiga dekade ini, Jakarta mengalami transformasi yang signifikan, baik dalam infrastruktur, ekonomi, maupun budaya. Pembangunan gedung pencakar langit, perluasan jaringan transportasi, serta kemajuan teknologi menjadi penanda dari era modernisasi kota ini. Perubahan tersebut tidak hanya mengubah wajah fisik Jakarta, tetapi juga berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi warganya. Di sisi lain, tradisi lokal, termasuk seni dan budaya Betawi, tetap dipertahankan sebagai identitas yang memperkaya kemajuan kota ini.
Misalnya, perubahan pada instrument yang digunakan pada tradisi ini, yakni penggunaan rebana ketimpring. Rebana ketimpring merupakan salah satu permainan rebana
biasa digunakan dalam tradisi palang pintu. Rebana ini dimainkan oleh 3 orang, masing-masing memainkan ritme ketukan yang berbeda, sehingga permainan rebana ini menjadi sulit permainan rebana.
Karena itu kesulitan, saat ini rebana permainan mulai menjadi kurang populer. Demikianlah penggunaan rebana dalam Palang Tradisi Pintu sering digantikan dengan rebana hadroh atau marawis yang mana dianggap lebih mudah untuk dimainkan.
Palang Pintu Mengal Jauh Tradisi palang pintu juga mengalami perubahan dalam perkembangannya dari segi prosesi dan nilai-nilai filosofinya. Dalam tradisi ini masih dipegang teguh sebagai makna simbolis bagi seseorang di mencapai kesuksesan dalam pernikahan menurut kepercayaan masyarakat Betawi.
Tradisi ini memiliki nilai-nilai penting yang masih dipandang dan mempunyai arti penting kedudukannya dalam norma-norma sosial struktural masyarakat Betawi.
Filosofi tradisi merupakan prinsip dasar yang harus dimiliki oleh orang Betawi. Kedua elemen ini menjadi identitas khas yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan makna mendalam, tradisi ini mencerminkan nilai-nilai luhur serta warisan budaya yang terus dipertahankan oleh masyarakat Betawi hingga kini.