Tempo dulu orkes Tanjidor sangat mudah dinikmati oleh rakyat Betawi. Namun saat ini hanya ada setidaknya tiga sanggar asli yang melestarikan budaya ini secara turun temurun. Salah satunya Sanggar Pusaka Tiga Saudara yang berada di Kalisari, Jakarta Timur.
Adalah Ma’ah Piye, pemimpin orkes sekaligus sanggar ini. “Sudah dari zaman buyut saya, sebelumnya lagi pokoknya sudah lama.
Ia bercerita bahwa mulai belajar memainkan tanjidor pada 1975 dan menguasainya pada 1992. Tanjidor dibawa oleh bangsa Portugis untuk mengiringi kematian atau prajurit yang pergi berperang.
“Dulu disebutnya tange, yang main namanya tangedor,” ujar dia.
Pada masa itu, para pemain tanjidor lebih fokus pada musik mars yang penuh semangat, menciptakan suasana yang energik dan dinamis. Namun, masyarakat Betawi melihat potensi untuk mengembangkan kesenian ini lebih jauh. Mereka mulai mengadaptasi dan memodifikasi tanjidor dengan memasukkan lagu-lagu daerah yang kaya akan nuansa lokal. Transformasi ini tidak hanya memperkaya repertoar tanjidor, tetapi juga menjadikannya sebagai wadah untuk mengekspresikan kekayaan budaya Betawi. Dengan sentuhan kreatif ini, tanjidor berkembang menjadi lebih dari sekadar musik mars, melainkan sebuah simfoni yang menyatukan tradisi lokal dan inovasi dalam setiap pertunjukannya.
Musik tersebut lalu disajikan untuk hajatan. Setelah bermain alat musik, hiburan berlanjut dengan acara lawakan khas Betawi.
Awal Mula Tanjidor
Tanjidor adalah kesenian tradisional Betawi berbentuk orkes yang berkembang sejak abad ke-19. Kesenian ini dirintis oleh Augustijn Michels, atau lebih dikenal sebagai Major Tjanje, yang berasal dari daerah Citrap atau Citeureup. Awalnya, tanjidor dimainkan oleh para budak pada masa kolonial Belanda sebagai hiburan tuan tanah, namun seiring waktu, kesenian ini berkembang menjadi bagian penting dari budaya Betawi. Tanjidor menggunakan instrumen musik tiup dan perkusi, dengan pengaruh Eropa yang kental. Hingga kini, tanjidor tetap dipertahankan sebagai warisan budaya Betawi yang sering ditampilkan dalam berbagai acara adat dan perayaan.
Musik tanjidor merupakan kesenian yang semata-mata demi hiburan rakyat Betawi yang menggunakan alat-alat musik Barat, terutama alat musik tiup.
Nama tanjidor berasal dari bahasa Portugis, di mana kata “tanger” berarti bermain musik. Sementara itu, “tangedor” memiliki arti bermain musik di luar ruangan. Kesenian ini mencerminkan pengaruh budaya Eropa, khususnya Portugis, pada masyarakat Betawi di masa lalu. Musik tanjidor awalnya dimainkan di luar ruangan, seringkali dalam perayaan dan arak-arakan. Instrumen yang digunakan dalam tanjidor meliputi alat musik tiup dan perkusi, seperti trombone, clarinet, dan bedug. Hingga kini, tanjidor terus dipertahankan sebagai bagian dari tradisi Betawi, menghadirkan warna unik dalam berbagai perhelatan budaya dan adat.
Sekitar abad ke-16, banyak orang Eropa (Portugis, Belanda dan Inggris) datang untuk berdagang ke Sunda Kalapa., Kondisi tersebut menyebabkan kemajuan dalam bidang perdagangan.
Tidak hanya itu, hal itu juga mendorong kemajuan dalam bidang kesenian karena masuknya berbagai budaya-budaya Eropa ke Sunda Kalapa.
Perjalan Era Setelah Jajahan Belanda
Setelah kedatangan Belanda, musik tanjidor menemukan peran barunya sebagai hiburan yang meriah dalam berbagai pawai militer dan acara keagamaan. Kehadiran tanjidor di tengah-tengah acara resmi tersebut membawa warna tersendiri, dengan irama yang menggetarkan dan melodi yang menyemangati suasana. Alunan alat musik tiup dan perkusi ini tidak hanya menggugah semangat para peserta, tetapi juga menambah kemeriahan setiap perayaan. Dengan pengaruh kolonial yang menyatu dalam tradisi lokal, tanjidor terus berkembang, menciptakan harmoni unik antara budaya Betawi dan unsur-unsur Eropa dalam setiap penampilannya.
Peninggalan alat-alat musik tanjidor merupakan warisan budaya khas Betawi yang terus dilestarikan hingga kini. Beberapa instrumen yang digunakan dalam kesenian ini meliputi bedug (bass drum), tambur (snare drum), simbal, clarinet, trombone, piston (trumpet), tenor, dan bass throm. Alat-alat ini memberikan warna khas pada musik tanjidor, yang dikenal sebagai musik tradisional Betawi dengan pengaruh Eropa. Instrumen tersebut digunakan dalam berbagai acara, seperti perayaan, pesta, dan arak-arakan, yang menggambarkan kekayaan budaya masyarakat Betawi. Tanjidor menjadi salah satu simbol penting dalam menjaga identitas dan warisan budaya Betawi di era modern.